-
8
Sep
Abad ke-15 dan ke-16 adalah periode paling berdarah di zona dataran rendah Aceh, Sumatra Timur dan semenanjung Malaysia. Empat kerajaan saling bantai, berkonspirasi dan saling menaklukkan untuk memperebutkan kekuasaan pada zona perdagangan internasional yang kini dikenal dengan Selat Malaka. Di tengah kecamuk perebutan ekonomi itu, pada tepian sungai Deli, tepatnya sekitar 9 km dari Labuhan Deli, lahirlah sebuah legenda klasik bernama Puteri Hijau. Legenda Sang Puteri yang selalu digambarkan dengan segala kosa kata kecantikan, bertahan hingga kini dalam dua versi. Versi pertama berasal dari catatan sejarah yang mirip cerita lisan yang berkembang di masyarakat Melayu Deli.
Versi kedua adalah hikayat dari masyarakat Karo. Keduanya bertentangan dan kelihatan sekali saling berlomba menonjolkan identitas dan ego masing-masing suku. Dari versi lisan Melayu, konon pernah lahir seorang puteri yang sangat cantik jelita di desa Siberaya, dekat hulu sungai Petani (sungai Deli). Kecantikannya memancarkan warna kehijauan yang berkilau dan menjadi tesohor ke berbagai pelosok negeri, mulai dari Aceh, Malaka, hingga bagian utara pulau Jawa. Ia kemudian dinamai Puteri Hijau. Dalam hikayatnya, Sang Puteri memiliki dua saudara kembar yang dipercaya adalah seekor naga bernama Ular Simangombus dan sebuah meriam bernama Meriam Puntung.
Alkisah, Ular Simangombus memiliki selera makan yang luar biasa. Ia digambarkan seakan tidak pernah kenyang. Rakyat Siberaya akhirnya tidak sanggup lagi menyediakan makanan untuk naga ini, sehingga Sang Puteri bersama kedua saudaranya memutuskan pindah ke hilir sungai dan menetap di sebuah perkampungan baru yang sekarang dikenal dengan nama Deli Tua. Di sini, para pengikutnya membangun benteng yang kuat. Dengan demikian, negeri itu cepat makmur. Kecantikan Sang Puteri yang menyebar seperti kabar burung ke segala penjuru, suatu ketika mendarat di telinga Raja Aceh. Ia lantas kepincut dan mengirim bala tentara untuk meminang Puteri Hijau. Utusan langsung dikirim.
Pantun bersahut-sahutan. Tetapi pinangan ini ditolak dan membuat Raja Aceh betul-betul dilanda murka. Ia merasa diri dan kerajaannya dihina sehingga jatuhlah perintah untuk segera menyerang benteng Puteri Hijau. Tetapi karena bentengnya sangat kokoh, pasukan Aceh gagal menembusnya. Menyadari jumlah pasukannya makin menyusut setelah banyak yang terbunuh, panglima-panglima perang Aceh memakai siasat baru. Mereka menyuruh prajuritnya menembakkan ribuan uang emas ke arah prajurit benteng yang bertahan di balik pintu gerbang. Suasana menjadi tidak terkendali karena para penjaga benteng itu berebutan uang emas dan meninggalkan posnya.
Ketika mereka tengah sibuk memunguti uang logam, tentara Aceh menerobos masuk dan dengan mudahnya menguasai benteng. Pertahanan terakhir yang dimiliki orang dalam adalah salah seorang saudara Puteri Hijau, yaitu Meriam Puntung. Tetapi karena ditembakkan terus-menerus, meriam ini menjadi panas, meledak, terlontar dan terputus dua. Bagian moncongnya tercampak ke kampung Sukanalu. Sedangkan bagian sisanya terlontar ke Labuhan Deli, dan kini ada di halaman Istana Maimoon Medan. Melihat situasi yang tak menguntungkan, Ular Simangombus, saudara Sang Puteri lainnya, menaikkan Puteri Hijau ke atas punggungnya dan menyelamatkan diri melalui sebuah terusan (Jalan Puteri Hijau), memasuki sungai Deli dan langsung ke Selat Malaka.
Dan hingga sekarang kedua kakak beradik ini dipercaya menghuni sebuah negeri dasar laut di sekitar Pulau Berhala. Namun sebuah anak legenda menyebutkan bahwa Puteri Hijau sebenarnya sempat tertangkap. Ia ditawan dan dimasukkan dalam sebuah peti kaca yang dimuat ke dalam kapal untuk seterusnya dibawa ke Aceh. Ketika kapal sampai di Ujung Jambo Aye, Putri Hijau memohon diadakan satu upacara untuknya sebelum peti diturunkan dari kapal. Atas permintaannya, ia diberikan berkarung-karung beras dan beribu-ribu telur. Tetapi baru saja upacara dimulai, tiba-tiba berhembuslah angin ribut yang maha dahsyat, disusul gelombang yang tinggi dan ganas. Dari perut laut muncul jelmaan saudaranya, Ular Simangombus, yang dengan rahangnya mengambil peti tempat adiknya dikurung. Lalu Puteri Hijau dilarikan ke dalam laut dan mereka bersemayam di perairan pulau Berhala. Menurut cerita ini, saudara-saudara Puteri Hijau adalah manusia-manusia sakti yang masing-masing bisa menjelma menjadi meriam dan naga. Memang, cerita lisan selalu mewariskan banyak versi sesuai selera masing-masing penceritanya.
***
Dalam bukunya, Sejarah Medan Tempo Doeloe, sejarahwan Tengku Luckman Sinar mencoba menempatkan legenda Puteri Hijau sebagai salah satu setting sejarah perlawanan Kerajaan Haru yang berpusat di Deli Tua terhadap serangan Kerajaan Aceh, sekaligus juga menjadi latar proses terbentuknya etnis Melayu di Sumatra Timur. Nama Kerajaan Haru sudah dikenal sejak akhir abad ke-13. Bukti tertulis pertama yang mengabadikan kerajaan ini adalah catatan Tiongkok pada tahun 1282 M, tepatnya pada zaman pemerintahan Kubilai Khan. Catatan itu mengisahkan, Kerajaan Haru mengirimkan utusannya untuk misi dagang ke Tiongkok. Sedang berdasarkan hikayat Melayu dan hikayat Raja-raja Pasai, Kerajaan Haru sudah menganut Islam sejak pertengahan abad ke-13. Disebutkan, nakhoda Ismail dan Fakir Muhammad mula-mula mengislamkan negeri Fansuri (Barus), Lamiri (Lamuri), lalu Haru. Kerajaan Samudera Pasai dan Malaka sendiri di islamkan kemudian.
Jadi, dari hikayat ini, Kerajaan Haru lebih dulu memeluk Islam ketimbang Aceh dan Malaka, meskipun kemudian Malakalah yang menjadi pusat pengembangan Islam di kawasan Nusantara. Pada masa tersebut, Kerajaan Haru sudah menjadi salah satu pemegang peranan penting dalam wilayah perdagangan dunia di Selat Malaka. Pedagang-pedagang Persia, Portugis, Cina dan Eropa punya catatan masing-masing tentang wilayah ini, di mana Haru adalah salah satu kerajaan yang memungut pajak di samping Samudera Pasai dan Malaka yang kemudian dijajah Portugis. Sebelum akhirnya diserang Kerajaan Sriwijaya yang ingin mempersatukan Nusantara pada tahun 1275 M, Kerajaan Haru memiliki satu bandar perdagangan besar di Kota Cina, yang letaknya antara sungai Deli dan sungai Buluh Cina.
Saat itu, Haru sudah memiliki hubungan bisnis yang erat dengan Dinasti Sung Selatan. Kapal-kapal Tiongkok langsung mendatangi bandar ini untuk melakukan perdagangan. Tak heran bila para peneliti masih menemukan sejumlah koin mata uang Cina kuno di kawasan ini. Setelah bandar perdagangan Haru dihancurkan Sriwijaya dalam “Ekspedisi Pamalayu”, masa pemulihannya tak begitu lama. Karena potensialnya kawasan ini, bandar kembali ramai dan perdagangan dengan Tiongkok terus berlangsung. Kerajaan Haru malah kian berkembang pasca penaklukan Sriwijaya. Pedagang Persia, Fadiullah bin Abdul Khadir Rasyiuddin dalam bukunya “Jamiul Tawarikh” menjelaskan, negeri-negeri utama di Sumatera pada tahun 1310 M adalah Lamuri, Samudera Pasai, Barlak (Perlak), Dalmyan (Temiang) dan Haru. Tetapi musibah kedua menimpa Haru ketika tentara Kerajaan Majapahit pada tahun 1350 M juga tiba dan menaklukkan daerah ini.
Dalam kronik Negara Kertagama karangan Mpu Prapanca disebut bahwa di samping Panay (Kerajaan Pane di Portibi), juga ditaklukkan Kampe (Kompai) dan Harw (Haru). Di hulu sungai Ular, masih ada kampung bernama “Kota Jawa” dan “Timbun Tulang” yang menurut legenda di teluk Haru menunjukkan adanya lokasi penimbunan tulang tentara Majapahit yang mati diracuni gadis-gadis setempat. Setelah lepas dari cengkeraman Majapahit, Haru kembali berhubungan dengan Tiongkok. Pada tahun 1412 M, Laksamana Cheng Ho yang diutus Kaisar Tiongkok mengunjungi pulau-pulau di nusantara, singgah di Haru. Kunjungan itu mencatat bahwa penguasa Haru kala itu bernama Tuanku Alamsyah, putra dari Sultan Husin (raja sebelumnya).
Cheng Ho, laksamana legendaris dari Tiongkok, mengangkut persembahan Haru untuk Tiongkok. Tercatat dua kali Cheng Ho singgah di Haru. Setelah itu ia tak pernah muncul lagi karena Tiongkok juga bergolak oleh perang dinasti yang tiada henti. Sepanjang masa kejayaannya, Kerajaan Haru, Samudera Pasai dan Malaka (Portugis) adalah tiga serangkai yang kadang berdamai dan kadang saling bertikai memperebutkan peranan di perairan Selat Malaka. Menurut sejarah Melayu, pada tahun 1477 M sampai 1488, Haru menaklukkan Kerajaan Pasai gara-gara sebuah penghinaan yang dilakukan Raja Pasai terhadap utusan Raja Haru. Tetapi Kerajaan Pasai kemudian dibantu Malaka, sehingga kerajaan ini juga otomatis menjadi musuh Haru. Tetapi ketika Raja Malaka diusir Portugis ke Johor, Raja Haru juga bersahabat dengannya sehingga membuat iri Kerajaan Aceh.
Pada pertengahan abad ke-15 itu, Haru disebut-sebut juga punya niat menghancurkan Pasai di utara dan Malaka di selatan untuk mengambil alih posisi Sriwijaya zaman dulu. Tetapi niat itu tidak pernah terwujud. Malah Kerajaan Haru terjebak posisi sulit dan tidak aman karena dikelilingi musuh. Untuk membuat pertahanan yang kuat, mereka meninggalkan Kota Cina dan ibu kota Haru naik lagi ke atas sungai Deli.
Pada tahun 1511 M, Portugis menguasai Malaka dan memperoleh keuntungan besar dari lalu lintas perdagangan di Selat Malaka. Tetapi kemudian Kerajaan Pasai membangun sebuah bandar perdagangan tandingan di Sabang dengan pajak lebih rendah dan pelayanan yang lebih bagus. Portugis yang marah-marah, dimanfaatkan Kerajaan Haru untuk bersama-sama menyerang Pasai pada tahun 1514 M. Tetapi di Pasai, Portugis diusir oleh imperium Aceh yang baru lahir. Haru sendiri makin rawan, dan terpaksa memindahkan kerajaannya makin ke pedalaman. Haru adalah kerajaan besar. Kekuasaannya membentang dari Sungai Rokan hingga Temiang (Aceh Tamiang). Tetapi mengapa sejarahnya seperti tidak meninggalkan bekas? Satu teori mengatakan, kerajaan yang dibangun oleh etnis bermarga Karo Sekali (Karo asli) ini tidak memiliki satu proyek kebudayaan selama masa kekuasaannya.
Meskipun memeluk Islam, tetapi mereka bukanlah pusat pengembangan Islam. Ini berbeda dengan Malaka, Pasai, Sriwijaya, atau Majapahit, yang masing-masing memang mengembangkan satu pusat pengetahuan dan intelektualisme yang ditandai adanya tradisi penulisan sejarah. Sebaliknya, Kerajaan Haru tidak memiliki catatan yang berarti, sehingga keberadaannya sempat tenggelam dalam teka-teki yang sulit. Sejumlah catatan menyebutkan Haru sebagai kerajaan bar-bar yang suka bertempur dan membajak kapal-kapal asing di Selat Malaka. Penulis Portugis, Tome Pires, menggambarkan Haru sebagai kerajaan terbesar di Sumatera. Rakyatnya banyak, tetapi tidak kaya karena perdagangan. Mereka memiliki kapal-kapal kencang dan sangat terkenal karena daya penghancurnya.
Sejak Malaka lahir, Kerajaan Haru selalu menjadi musuh bebuyutan orang Malaka dan sangat ditakuti. Mereka merampas rakyat malaka. Tiba-tiba saja orang-orang Haru menyergap sebuah kampung dan mengambil segala yang berharga. Rakyat Haru disebut suka berperang. Haru banyak menghasilkan padi, daging, ikan, buah-buahan, arak, kapur barus berkualitas tinggi, emas, benzoin, aphotecary’s ignaloes, rotan, lilin, madu, budak-budak dan sedikit saja yang berdagang. Mereka memperoleh barang dagangan melalui Pasai, Pedir, Fansuri dan Minangkabau. Bahkan Haru memiliki sebuah kota pasar budak yang disebut Arqat (Rantauperapat sekarang). Setelah imperium Aceh bangkit di akhir kejayaan Pasai, keberadaan Haru makin terancam. Negeri Aceh yang dulu berulangkali diserangnya ternyata mampu menyatukan diri di bawah Sultan Aceh bernama Al-Qahhar.
Selama abad ke-16, giliran Sultan Aceh yang berkali-kali menyerang Haru, sampai akhirnya Haru takluk dan diperintah oleh perwakilan dan kepercayaan Sultan Aceh bernama Gocah Pahlawan yang dipercaya sebagai keturunan Raja India yang merantau ke Nusantara. Gocah Pahlawan adalah penakluk Haru dan pendiri cikal-bakal Kerajaan Deli. Lalu siapa sebenarnya etnis Melayu? Pada saat kapan legenda Puteri Hijau muncul? Cerita ini menjadi kian menarik.
***
Legenda Puteri Hijau, bila dikaitkan dengan sejarah Kerajaan Haru, terbit ketika kerajaan itu sedang sengit-sengitnya mempertahankan diri dari serangan Imperium Aceh yang baru terbentuk di bawah Al-Qahhar. Mundur ke belakang sedikit, menurut sejarah Melayu, nama Sultan Haru pada tahun 1477-1488 M adalah Maharadja Diraja, putera Sultan Sujak yang turun dari “Batu Hilir dikata Hulu, Batu Hulu dikata Hilir”. Mungkin pada kalimat itu, yang dimaksudkan adalah “Batak Hilir dikata Hulu, Batak Hulu dikata Hilir”. Kata “Batak” sengaja dihilangkan karena maknanya bisa mengandung penghinaan, mengingat nama “Batak” pada saat itu menunjukkan pada pengertian “terbelakang”, orang-orang pedalaman di gunung yang belum memeluk Islam. Jadi, orang Haru awalnya berasal dari pegunungan, turunan Batak, yang kemudian masuk Islam menjadi Melayu.
Dengan kata lain, sebagaimana yang disimpulkan Tengku Luckman Sinar, etnis Melayu sebenarnya bukan sebuah ikatan genealogis (ras), tetapi ikatan kultur dan agama. Pada masa itu, yang disebut Melayu adalah semua orang yang masuk Islam. “Jadi, Melayu sekarang adalah percampuran dari banyak suku, seperti Batak, India, Aceh dan masyarakat Johor di Riau. Ikatannya pada kultur dan agama,” jelas Luckman. Orang-orang Haru yang turun pertama sekali ke dataran rendah dan memeluk Islam menamakan dirinya Karo Sekali (Karo asli) yang kemudian menjadi marga tersendiri. Marga itu masih ditemui di Desa Siberaya, dekat Delitua.
Kata “Haru” sendiri kemungkinan besar adalah sebutan untuk orang Karo asli ini. Mereka tidak mau disamakan dengan marga-marga Karo sekarang yang menurut mereka adalah golongan Karo-Karo (bukan asli). Orang Karo-Karo seperti Tarigan, Sembiring, Perangin-angin, Sitepu dan Ginting, baru turun ke Deli pada awal abad ke-17 dan membentuk “urung-urung” (daerah kekuasaan berdasarkan marga dan ikatan keluarga). Penduduk asli Asahan juga mengaku berasal dari marga Haro-Haro (Karo-Karo). Sementara di Temiang, Rokan dan Panai, masih ditemukan suku Haru. Sebagian dari Karo-Karo ini masuk Islam (jadi Melayu) dan bersama-sama orang Aceh menyebarkan agamanya sampai ke lereng pegunungan. Mereka juga menikah dengan orang-orang pesisir dan Aceh.
Bahkan, marga Sembiring konon adalah orang yang diusir dari Aceh. Nah, dari sini kita sudah bisa menggambarkan siapa sebenarnya orang Haru dan Kerajaan Haru, tempat munculnya Legenda Puteri Hijau. Seorang utusan Portugis, Ferdinand Mendes Pinto, menceritakan selintas tentang masa penyerangan Sultan Aceh Al-Qahhar ke Haru di tahun 1539 M. Penyerangan Aceh itu dilakukan 2 kali, yaitu pada Januari dan November tahun yang sama. Pinto menuliskan, setelah ia berlayar 5 hari dari Malaka, ia sampai pada sungai Panetican (Deli), di mana ibukota Haru berdiri. Raja Haru saat itu sedang sibuk mempersiapkan kubu-kubu dan benteng-benteng di kiri-kanan sungai.
Letak istana kira-kira satu kilometer ke dalam. Diduga kuat, lokasi yang dimaksud adalah Delitua. Apalagi, sisa benteng itu masih dapat dilihat sekarang, dan beberapa penduduk pernah menemukan mata uang dan peluru emas milik tentara Aceh. “Haru hanya mempunyai sebuah meriam besar yang dibelinya dari seorang pelarian Portugis di Pasai. Mendengar akan sampainya armada Aceh, maka Sultan Haru menyuruh pasukannya mengungsikan wanita-wanita dan anak-anak, termasuk permaisurinya Anche Sinny (Anggi Sini atau Encik Sini) ke hutan sejauh 39 km dari ibukota. Kerajaan Aceh banyak sekali menggunakan serdadu-serdadu bayaran dari Gujarat, Malabar, Hadramaut, Lanun, dan sebagainya,” tulis Pinto.
Setelah dikepung 17 hari, orang Aceh berhasil menghancurkan dinding-dinding kubu pertahanan Haru. Tetapi karena banyak korban di pihaknya, maka Aceh memakai siasat menyogok panglima-panglima Haru dengan uang emas agar mereka mau meninggalkan penjagaan di benteng utama. Dalam sebuah pertempuran sengit, Sultan Haru tewas dan Haru berhasil di taklukkan. Permaisuri Haru, Anggi Sini, membentuk pasukan gerilya, tetapi tidak berhasil merebut benteng itu kembali. Akhirnya ia bersama pengikutnya naik perahu dari sebuah sungai dan berlayar menuju Malaka. Perlu diketahui, perahu pada masa itu umumnya berlambangkan kepala naga.
Di sana ia disambut baik Gubernur Portugis, tetapi tidak bersedia memberi bala bantuan untuk merebut Kerajaan Haru. Diam-diam permaisuri bertolak ke Bintan dan menjumpai Raja Melayu Riau-Johor, Sultan Alauddin Riayatsyah II, putera almarhum Raja Malaka Sultan Mahmudsyah. Permaisuri Haru disambut baik dan Johor bersedia membantunya merebut benteng Haru dengan satu syarat, Permaisuri Haru bersedia menikah dengannya. Syarat tersebut bisa jadi membuktikan bagaimana menarik dan cantiknya Anggi atau Encik Sini, seorang gadis Karo dari Desa Siberaya. Akhirnya Haru dapat direbut kembali dari Aceh. Cerita Pinto ini banyak persamaannya dengan Legenda Puteri Hijau, baik dari segi tahunnya maupun simbol-simbol legendanya.
Penaklukan benteng Haru pada tahun 1539 M sama dengan penaklukan Puteri Hijau di Deli Tua yang tertuang dalam Hikayat Puteri Hijau. Kemungkinan besar Anggi atau Encik Sini adalah Puteri Hijau itu sendiri. Meriam besar satu-satunya yang dimiliki Kerajaan Haru barangkali merujuk “saudara” Puteri Hijau yang karena digunakan berkali-kali akhirnya pecah menjadi dua bagian. Sedang “saudara” naga yang dinaiki Puteri Hijau menuju Selat Malaka punya kesamaan dengan perahu berkepala naga yang dipakai Anggi atau Encik Sini.
Setelah itu, Haru masih berulang-ulang diserang Aceh hingga kemudian takluk oleh Sultan Aceh pada abad ke-16. Kekuasaan Aceh di Haru menandai dimulainya babak baru Kerajaan Ghuri yang kemudian berubah nama menjadi Kerajaan Deli yang kita kenal sekarang. Ketika Belanda muncul, riwayat Haru makin menghilang. Akibatnya, sampai sekarang, orang selalu sukar melihat suku Karo dan Melayu Deli dalam satu kesatuan. Padahal, bangunan Kerajaan Deli seperti Istana Maimoon saja masih jelas diwarnai oleh ornamen khas suku Karo. Lihatlah misalnya bangunan tempat Meriam Puntung di pekarangan Istana Maimoon.
***
Tetapi itu adalah legenda versi Melayu. Bagi orang Karo, versi kepahlawanan Sang Puteri justru dianggap mengada-ada. Pak Sitepu yang saat ini menjaga perigi yang dipercaya sebagai tempat pemandian Puteri Hijau menyebut wanita rupawan itu sebagai aib bagi warga Karo, khususnya Desa Siberaya. Puteri Hijau yang kemudian dinobatkan sebagai boru Sembiring lahir tanpa ayah. Sebagian orang menyebut ibunya kawin dengan makhluk gaib, sebagian lagi menuduhnya berzinah. Karena menanggung aib, Puteri Hijau yang dipercaya lahir bersama sebuah meriam dan seekor naga, akhirnya memilih pergi dari Siberaya dan menetap di sebuah pemukiman baru di daerah Delitua.
Sampai kini, tempat pemandian Sang Puteri masih dijaga dan dikeramatkan. Orang-orang Tionghoa, beberapa keluarga Kerajaan Deli, dan masyarakat yang meminta sesuatu, masih acap datang berziarah ke perigi yang memiliki sumber mata air jernih dan tiada pernah habis ini. Menurut orang Karo, sesungguhnya mereka adalah penduduk pertama di pesisir timur, sedang orang Melayu dan Aceh adalah kaum pendatang. “Kalau kami pendatang, kenapa warga Karo yang justru lebih banyak bermukim di Padangbulan, Delitua, Langkat dan daerah pesisir lainnya?” ujar Pak Sitepu.
Ia juga menyebutkan bahwa nama-nama di daerah pesisir seperti Belawan dan Medan adalah nama-nama Karo. Kata Belawan dulunya berasal dari kata “perbelawanan” yang artinya tempat bersumpah. Di sini orang-orang melakukan sumpah untuk tidak berbuat sesuatu yang jahat atau melanggar adat. Dulunya, masih kata Sitepu, banyak orang Karo yang diusir ke daerah pesisir karena melanggar adat di kampungnya, semisal kawin semarga. Orang-orang tersebut kemudian berkembang di daerah pesisir, bergaul dengan para pendatang dari Malaka. Mereka menghilangkan marganya karena malu, dan baru belakangan memakainya kembali. Sehingga tidak heran bila di pesisir Langkat, Labuhan Batu dan Tanjungbalai, muncul marga-marga Batak yang sebelumnya tidak disebut-sebut.
Di tengah warga Karo sendiri, cerita tentang Puteri Hijau masih terbagi dalam banyak versi. Tetapi secara umum, mereka melihat Sang Puteri dari kaca mata negatif dan merasa bahwa menceritakan legenda Puteri Hijau sama dengan membuka aib sendiri. Dari sudut pandang ilmu sejarah, cerita lisan versi Karo memang lebih sulit diterima akal karena tidak memiliki logika runtut sebagaimana yang dilansir Tengku Luckman Sinar. Namun terlepas dari kontroversi masa lalu yang sudah sarat dengan kepentingan identitas, warga Karo dan Melayu masih sama-sama menghidupkan Legenda Puteri Hijau di hati masing-masing. Perigi Puteri Hijau saat ini dijaga oleh penduduk Kampung Delitua yang seluruhnya adalah orang Karo. Perkampungan tua ini terletak sekitar 1,5 km dari Pajak Delitua.
Untuk mencapainya, kita harus melewati sebuah titi gantung yang menghubungkan kedua bibir sungai Deli. Selain perigi Puteri Hijau, kampung ini juga dikelilingi benteng berupa lubang besar yang di sisinya ditanami rumpun-rumpun bambu. Konon, desa ini tidak pernah takluk pada Belanda ketika Kerajaan Melayu Deli sudah menjalin kerjasama dengan Belanda. Hal itu ditandai dengan tiadanya tanaman bakau di kawasan Kampung Delitua. Padahal pengusaha Belanda, Nienhuys, hampir menguasai seluruh areal penanaman tembakau waktu itu. Tetapi bagaimanapun masa lalu Puteri Hijau yang sebenarnya, ada atau tidak pernah ada, sekeras apa kontroversinya, itu semua justru memperkaya hikmah yang dikandungnya. Dan yang terpenting, legendanya adalah sebuah aset wisata.
- Published by admin in: Ragam Hikayat di Aceh
- If you like this blog please take a second from your precious time and subscribe to my rss feed!